Sabtu, 11 Desember 2010

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS SEKOLAH

Masyarakat Indonesia sekarang ini sudah bisa memilih dan bebas menentukan pilihannya sesuai dengan perkembangan informasi dari media. Termasuk dalam menentukan pilihan sekolah mana yang tepat untuk menitipkan anak untuk dididik. Masyarakat sudah pandai dan tidak perlu didikte dengan berbagai program-program yang tampilkan oleh sebuah sekolah dalam rangka menyugesti masyarakat bahwa sekolahnyalah yang paling hebat di antara sekolah-sekolah lain. Beberapa sekolah menampilkan beberapa keunggulan seperti hasil kejuaraan, baik di tingkat lokal maupun even yang lebih besar. Apakah masyrakat tertarik? mungkin ya, mungkin juga. Orang tua menyekolahkan anaknya pasti memilih sekolah yang berkualitas, sebagian besar masyarakat menganggap sekolah yang berkualitas itu adalah sebagai berikut.

1. Output sekolah
Seberapa besar jumlah lulusan sekolah tersebut diterima di jenjang berikutnya atau sekolah yang favorit. Jika tiap tahunnya tidak banyak yang diterima di sekolah favorit, jangan harap akan menjadi tujuan utama anak didik untuk masuk sekolah tersebut. Meskipun fasilitas dan kegiatan kesiswaan tidak terlalu menunjang, sekolah tersebut akan menjadi tujuan utama anak didik karena telah berhasil anak didiknya melanjutkan ke sekolah berikutnya yang lebih favorit. Sekolah yang telah mengantarkan anak didiknya menuju sekolah berkualitas pasti proses belajarnya sangat bagus dan guru yang profesional.

2. Pendidikan moralitas anak
Urutan yang kedua jika sekolah tidak bisa mengantarkan anak didiknya ke sekolah yang favorit, tentunya pilihan kedua guru mendidik dan memberikan perhatian penuh terhadap anak didiknya dalam pendidikan moral yang baik, kedisiplinan, kerapian, kerajinan, dan perilaku yang baik. Orang tua siswa akan memilih sekolah yang mengedepankan pendidikan moral jika tidak diterima di sekolah yang membawa anak didiknya ke sekolah yang favorit.

3. Kegiatan kesiswaan
Sekolah yang selalu juara dalam kegiatan kesiswaan, sperti juara festival band, sepak bola, dan sebagainya hanyalah sebagai penunjang bahwa sekolah itu dikatakan berkualitas. Meskipun sekolah tersebut selalu menang dalam kejuaraan tetapi tidak bisa mengantarkan anak didiknya ke sekolah yang lebih tinggi tidak akan dipandang sebagai sekolah yag bekualitas. Beda jika kalau sekolah tersebut sampai 99% mengantarkan anak didiknya ke sekolah yang lebih tinggi berkualitas, semua orang akan berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.

Itulah pandangan masyarakat terhadap sekolah saat ini. Untuk itu, tentunya sekolah harus berbenah diri untuk menyiapkan anak didiknya memasuki sekolah jenjang berkutnya yang berkualitas. Jika tidak, akan sulit menjadi tujuan utama masyarakat.

Jumat, 19 November 2010

MENGAPA KITA MENJADI BANGSA KORUP

"Maaf Bu, saya menyerahkan berkas usulan menjadi wakasek kesiswaan," Kataku sambil menyerahkan berkas itu kepada pegawai di salah satu dinas . Tetapi, dugaan saya ternyata benar, bahwa pegawai tersebut tidak akan melayani dengan baik.
"Taruh situ, Jawabnya enteng, tanpa melihat saya atau pun berkasnya. saya pun mengulangi lagi, mungkin barangkali kurang jelas tapi
"Ya, saya ndak tahu apakah selesai dalam waktu dekat, kita lihat saja nanti, taruh saja di situ" jawabnya sekali lagi.
Saya pun putus asa dan melaporkan kejadian ini ke atasan saya, ternyata dia sangat paham keadaan yang baru saya alami. Dia langsung mengeluarkan amplop dan uang seratus ribuan.
"Ini, serahkan amplop ke bapak yang bertugas mengetik nanti,"kata atasan saya sambil menjelaskan bahwa zaman sekarang kalau tidak ada uang lelah tidak akan pernah dikerjakan.
Memang benar, saya kembali ke kantor dinas dan langsung mencari orang yang disebutkan atasan saya dan waw, ternyata langsung dikerjakan lebih mengejutkan lagi sudah ditandatangani oleh kepala dinas bersangkutan kurang lebih 20 menit.

Itulah salah satu fakta pelayanan kantor dinas dari sekian fakta pelayanan di semua instansi. Kebiasaan seperti itu sudah jadi budaya dan akan mengakar serta sulit dihilangkan. Mengapa terjadi seperti itu? Bisakah kebiasaan tersebut dihilangkan? Sepertinya pertanyaan itu susah untuk menjawabnya karena kalau hanya jawaban normatif, tentu tidak akan punya nilai, tetapi jika sebuah rencana yang mudah diterapkan dan bersifat bijak, semua orang akan memahaminya dan tidak akan pernah melakukan praktik korupsi.

1. Ikhlas bekerja

Hal inilah yang rupanya sudah ditinggalkan oleh rata-rata orang dalam bekerja. Semua keberhasilan dalam bekerja hanya diukur dengan imbalan yang lebih besar. Mereka lupa bahwa setiap bulan sudah mendapat gaji yang besar dari pemerintah. Akan tetapi, entah mengapa mereka ingin selalu lebih, padahal perkerjaan belum juga selesai. Sifat ikhlas bekerja sudah hilang dari hatinya. Mereka sudah lupa bahwa bekerja itu adalah ibadah,justru sudah dibutakan oleh kebutuhan materi yang harus dipenuhi dan senang dipuji jika lebih dari yang lain. Masihkah ada pegawai di kota ini yang bekerja penuh keikhlasan, atau sebaliknya. Jika sebaliknya, bisa dikatakan negara yang kita cintai ini akan tinggal nama karena hancur oleh perilaku korupsi.

2. Tidak pandai bersyukur

Gaji yang telah diterima setiap bulan, apalagi suami isteri itu adalah sama-sama pegawai negeri, tentunya cukup untuk kbutuhan satu bulan. Mereka selalu berdalih bahwa gaji setiap bulannya hanya cukup di pertengahan saja. Itu adalah pikiran boros dan tidak tahu diri. Ingin semua kebutuhan tercukupi tanpa mempertimbangkan gajinya cukup atau tidak sehingga mereka akan emncari uang dengan segala cara.

3. Dedikasi pada negara

Jika semua orang ingat saat awal diterima menjadi pegawai negeri, seperti perasaan senang, bangga, dan merasa menjdi milik negara. Cinta kepada tanah air adalah tujuan kita bekerja sebagai PNS. Semua pekerjaaan kita arahkan pada kemakmuran bangsa sehingga bangsa ini tidak terkurung oleh kemiskinan. Koruptor sudah tidak lagi bekerja demi negara untuk mewujudkan negara yang makmur, justru mementingkan perutnya sendiri.

4. Kesadaran beragama

Barangkali inilah, semua orang meremehkan bahwa perilaku korupsi sangat bertentangan dengan agama. Tuhan akan membalas semua amal yang kita kerjakan walaupun sedetik. Koruptor adalah orang yang kesadaran beragamanya dangkal, meremehkan, meskipun sudah ahli agama

Seluk beluk pelayanan di pemerintahan sudah sebegitu parahnya dalam hal korupsi. Akibatnya, jarang sekali ditemukan pelayanan langsung selesai tanpa adanya pungutan liar. makanya otoritas internasional bidang pemberantasan korupsi masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Tenggara. Akankah Indonesia terus-menerus menyandang gelar itu? Mudah-mudah tidak, masih banyak orang Indonesia yang punya hati nurani dan tidak berprilaku seperti itu.

Kamis, 18 November 2010

UJIAN NASIONAL DI MATA GURU

Terlihat dengan jelas beberapa orang siswa sedang asyik bermain telpon genggamnya. Tetapi mereka kelihatan tidak bermain telepon genggam seperti biasanya, justru mempersiapkan komunikasi sms saat mengikuti ujian nasional. Tidak ada perasaan takut jika ketahuan mencontek jawaban lewat sms, tetapi sebaliknya, justru ada perasaan bahagia karena bisa mengumpulkan beberapa sms contekannya. Itulah gambaran sebagian siswa saat menghadapi ujian nasional.
Setiap tahun, ujian nasional selalu menjadi pro dan kontra baik di kalangan guru, birokrat, pembuat kebijakan, pengamat pendidikan, maupun masyarakat. Sudah dipastikan semua guru setuju dengan adanya ujian karena ujian sebagai alat pengukur keberhasilan seorang anak dalam belajar. Akan tetapi, hampir semua guru tidak setuju dengan sistem ujian sekarang ini. Hal itu disebabkan beberapa hal.
1. Hanya menghargai nilai akademik
Memang kita akui secara jujur, sistem ujian nasional seperti ini membawa bibit-bibit anak bangsa bisa bersaing di arena olimpide mata pelajaran dan selalu hasilnya sangat menakjubkan. Beberapa anak Indonesia mendapat nomor wahid dalam penyelenggaraan anak pintar tingkat dunia? Sudah puaskah dengan sistem seperti ini. Jika jawaban sudah, ini penanda Indonesia akan bangkrut dan akan tinggal nama di kemudian hari. Mengapa kasus korupsi tidak bisa diberantas dan selalu menduduki rangking tiga dunia? Mengapa kejahatan seperti pengedaran narkoba dan kriminal lainnya selalu meningkat setiap tahunnya? Kapankah kita akan menjadi negara sejahtera di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah? Mengapa kita tidak bisa berprestasi bidang olahraga, seni, dan budaya di dunia internsional? Justru, budaya kita sering dicaplok oleh negara lain. Sampai kapan kita mengirim ribuan TKI ke luar negeri? Apakah kita tahu penyebabnya?
Produk pendidikan tidak bisa dirasakan secara instan, tetapi butuh waktu 20 s.d. 30 tahun. Kehidupan yang kita rasakan sekarang adalah produk sistem pendidikan 25 tahun yang lalu dan mengedepankan nilai akademik sebagai tolak pengukuran keberhasilan siswa tanpa mempertimbangkan nilai nonakademik. Anak dikatakan pandai bila mendapat nilai sembilan pada pelajaran Matematika atau bahasa Inggris. Semua anak berlomba-lomba mengikuti les demi nilai akademik yang bagus. Apa harus demikian? Bukankah para ilmuwan mengerti bahwa kemampuan anak itu berbeda-beda? Mengapa mereka harus dipaksakan mendapatkan nilai 6 pada salah satu mata pelajaran? Apakah kita menganggap mereka harus bisa matematika atau bahasa Inggris semua? Terus di mana penilaian kepribadian? Penilaian bakat dan keterampilan? Penilaian sosialnya? Dan penilaian yang lain?
Alangkah bagusnya, jika ujian nasional mengintegrasikan semua penilaian dan tidak mendewakan nilai akademik sebagai kunci keberhasilan. Jika anak didik kita susah dalam akademik, tentunya dia mempunyai kelebihan bidang sosial atau di kepribadiannya. Apakah bisa dikatakan Anak yang pandai dalam nilai akademik mampu juga di kepribadiannya, seperti menjadi ketua kelas, OSIS, atau paskibra tingkat kabupaten dan provinsi. Apakah kita setuju anak yang mempunyai kepribadian bagus dan terampil tidak dikatakan sebagai anak yang pandai. Tentunya kita pasti tidak setuju. Mereka juga pandai dan berhak lulus ujian nasional. Begitu juga dengan anak didik yang sangat terampil.
Mudah-mudahan para pembuat kebijakan akan selalu mendengarkan dan melihat kelemahan sistem ujian nasional dan bisa melaksanakan ujian nasional yang terintegrasi akademik dan nonakademik demi pembentukan karakter bangsa sesuai yang kita harapkan.


2. Empat hari menentukan keberhasilan belajar tiga tahun
Meskipun ada seorang anak yang selalu mendapat rangking satu di kelasnya setiap semester tidak menjamin dia akan lulus di ujian nasional nanti. Hal itu disebabkan faktor pendukung seperti kesiapan mental, situasi dan kondisi saat itu baik diri anak itu sendiri, maupun lingkungan. Meskipun sekarang pemerintah mengadakan ujian ulang, tidak akan banyak mengubah dan bahkan menambah masalah karena ujian dimajukan serta waktu belajar siswa menjadi berkurang.

3. Kejujuran penyelanggara
Mulai ujian nasional dilaksananakan sampai sekarang penyelangara ujian nasional tidak pernah memberikan lembar jawaban ujian siswa kepada sekolah setelah dikoreksi. Berapa sebenarnya nilai yang didapat oleh siswa tersebut? Jawaban yang mana dianggap salah? Sepertinya akan melegakan hati apabila hasil ujian tidak diserahkan dalam bentuk nilai yang sudah jadi, tetapi dilakukan seperti seorang guru menyerahkan hasil ulangan kepada siswanya.

4. Kepentingan politik
Apakah pemerintah dan setiap sekolah berani menerapkan sistem pengawasan ujian nasional seperti halnya seorang guru mengawasi ulangan harian? Jangankan pinjam penghapus, menoleh saja ditegur dan jika keterlaluan justru dikeluarkan. Guru akan keliling untuk mengawasi setiap gerak-gerik siswanya yang berusaha untuk mencontek. Tentunya langka bila ada sekolah yang menerapkan seperti itu dan justru sekolah tersebut harus menerima penghargaan yang tinggi dari pemerintah terlepas bagaimana hasil yang didapat nanti. Mereka sudah berhasil menyelenggarakan proses pendidikan dan ujian yang jujur sebagai pembentuk karakter anak bangsa sehingga di masa depan karakter bernilai kejujuran dapat melindungi diri dari godaan perbuatan tercela.
Tapi, apa faktanya sekarang?
Tugas guru ibarat makan buah Malakama, guru harus duduk manis di tempat mereka mengawasi, jangankan berkeliling menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan saat ada siswa yang curang sudah ditegur oleh atasannya. Padahal keadaan seperti ini sangat bertentangan dangan hati seorang guru. Begitulah dengan atasannya harus melaksanakan instruksi atasannya juga demi kepentingan sesaat tanpa memikirkan kepentingan melaksanakan pendidikan yang berkarakter.