Kamis, 18 November 2010

UJIAN NASIONAL DI MATA GURU

Terlihat dengan jelas beberapa orang siswa sedang asyik bermain telpon genggamnya. Tetapi mereka kelihatan tidak bermain telepon genggam seperti biasanya, justru mempersiapkan komunikasi sms saat mengikuti ujian nasional. Tidak ada perasaan takut jika ketahuan mencontek jawaban lewat sms, tetapi sebaliknya, justru ada perasaan bahagia karena bisa mengumpulkan beberapa sms contekannya. Itulah gambaran sebagian siswa saat menghadapi ujian nasional.
Setiap tahun, ujian nasional selalu menjadi pro dan kontra baik di kalangan guru, birokrat, pembuat kebijakan, pengamat pendidikan, maupun masyarakat. Sudah dipastikan semua guru setuju dengan adanya ujian karena ujian sebagai alat pengukur keberhasilan seorang anak dalam belajar. Akan tetapi, hampir semua guru tidak setuju dengan sistem ujian sekarang ini. Hal itu disebabkan beberapa hal.
1. Hanya menghargai nilai akademik
Memang kita akui secara jujur, sistem ujian nasional seperti ini membawa bibit-bibit anak bangsa bisa bersaing di arena olimpide mata pelajaran dan selalu hasilnya sangat menakjubkan. Beberapa anak Indonesia mendapat nomor wahid dalam penyelenggaraan anak pintar tingkat dunia? Sudah puaskah dengan sistem seperti ini. Jika jawaban sudah, ini penanda Indonesia akan bangkrut dan akan tinggal nama di kemudian hari. Mengapa kasus korupsi tidak bisa diberantas dan selalu menduduki rangking tiga dunia? Mengapa kejahatan seperti pengedaran narkoba dan kriminal lainnya selalu meningkat setiap tahunnya? Kapankah kita akan menjadi negara sejahtera di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah? Mengapa kita tidak bisa berprestasi bidang olahraga, seni, dan budaya di dunia internsional? Justru, budaya kita sering dicaplok oleh negara lain. Sampai kapan kita mengirim ribuan TKI ke luar negeri? Apakah kita tahu penyebabnya?
Produk pendidikan tidak bisa dirasakan secara instan, tetapi butuh waktu 20 s.d. 30 tahun. Kehidupan yang kita rasakan sekarang adalah produk sistem pendidikan 25 tahun yang lalu dan mengedepankan nilai akademik sebagai tolak pengukuran keberhasilan siswa tanpa mempertimbangkan nilai nonakademik. Anak dikatakan pandai bila mendapat nilai sembilan pada pelajaran Matematika atau bahasa Inggris. Semua anak berlomba-lomba mengikuti les demi nilai akademik yang bagus. Apa harus demikian? Bukankah para ilmuwan mengerti bahwa kemampuan anak itu berbeda-beda? Mengapa mereka harus dipaksakan mendapatkan nilai 6 pada salah satu mata pelajaran? Apakah kita menganggap mereka harus bisa matematika atau bahasa Inggris semua? Terus di mana penilaian kepribadian? Penilaian bakat dan keterampilan? Penilaian sosialnya? Dan penilaian yang lain?
Alangkah bagusnya, jika ujian nasional mengintegrasikan semua penilaian dan tidak mendewakan nilai akademik sebagai kunci keberhasilan. Jika anak didik kita susah dalam akademik, tentunya dia mempunyai kelebihan bidang sosial atau di kepribadiannya. Apakah bisa dikatakan Anak yang pandai dalam nilai akademik mampu juga di kepribadiannya, seperti menjadi ketua kelas, OSIS, atau paskibra tingkat kabupaten dan provinsi. Apakah kita setuju anak yang mempunyai kepribadian bagus dan terampil tidak dikatakan sebagai anak yang pandai. Tentunya kita pasti tidak setuju. Mereka juga pandai dan berhak lulus ujian nasional. Begitu juga dengan anak didik yang sangat terampil.
Mudah-mudahan para pembuat kebijakan akan selalu mendengarkan dan melihat kelemahan sistem ujian nasional dan bisa melaksanakan ujian nasional yang terintegrasi akademik dan nonakademik demi pembentukan karakter bangsa sesuai yang kita harapkan.


2. Empat hari menentukan keberhasilan belajar tiga tahun
Meskipun ada seorang anak yang selalu mendapat rangking satu di kelasnya setiap semester tidak menjamin dia akan lulus di ujian nasional nanti. Hal itu disebabkan faktor pendukung seperti kesiapan mental, situasi dan kondisi saat itu baik diri anak itu sendiri, maupun lingkungan. Meskipun sekarang pemerintah mengadakan ujian ulang, tidak akan banyak mengubah dan bahkan menambah masalah karena ujian dimajukan serta waktu belajar siswa menjadi berkurang.

3. Kejujuran penyelanggara
Mulai ujian nasional dilaksananakan sampai sekarang penyelangara ujian nasional tidak pernah memberikan lembar jawaban ujian siswa kepada sekolah setelah dikoreksi. Berapa sebenarnya nilai yang didapat oleh siswa tersebut? Jawaban yang mana dianggap salah? Sepertinya akan melegakan hati apabila hasil ujian tidak diserahkan dalam bentuk nilai yang sudah jadi, tetapi dilakukan seperti seorang guru menyerahkan hasil ulangan kepada siswanya.

4. Kepentingan politik
Apakah pemerintah dan setiap sekolah berani menerapkan sistem pengawasan ujian nasional seperti halnya seorang guru mengawasi ulangan harian? Jangankan pinjam penghapus, menoleh saja ditegur dan jika keterlaluan justru dikeluarkan. Guru akan keliling untuk mengawasi setiap gerak-gerik siswanya yang berusaha untuk mencontek. Tentunya langka bila ada sekolah yang menerapkan seperti itu dan justru sekolah tersebut harus menerima penghargaan yang tinggi dari pemerintah terlepas bagaimana hasil yang didapat nanti. Mereka sudah berhasil menyelenggarakan proses pendidikan dan ujian yang jujur sebagai pembentuk karakter anak bangsa sehingga di masa depan karakter bernilai kejujuran dapat melindungi diri dari godaan perbuatan tercela.
Tapi, apa faktanya sekarang?
Tugas guru ibarat makan buah Malakama, guru harus duduk manis di tempat mereka mengawasi, jangankan berkeliling menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan saat ada siswa yang curang sudah ditegur oleh atasannya. Padahal keadaan seperti ini sangat bertentangan dangan hati seorang guru. Begitulah dengan atasannya harus melaksanakan instruksi atasannya juga demi kepentingan sesaat tanpa memikirkan kepentingan melaksanakan pendidikan yang berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar